Miskonsepsi pertama yang ditentang
Bowman adalah manusia jatuh cinta dengan menggunakan perasaan belaka.
Betul, kita jatuh cinta dengan hati.
Tapi agar tidak menimbulkan kekacauan di kemudian hari, kita diharapkan untuk
juga menggunakan akal sehat.
Bohong besar kalau kita bisa jatuh cinta dengan begitu saja tanpa bisa
mengelak. Yang sesungguhnya terjadi, proses jatuh cinta dipengaruhi tradisi,
kebiasaan, standar, gagasan, dan ideal kelompok dari mana kita berasal. Bohong
besar pula kalau kita merasa boleh berbuat apa saja saat jatuh cinta, dan tidak
bisa dimintai pertanggungjawaban bila perbuatan-perbuatan impulsif itu
berakibat buruk suatu ketika nanti. Kehilangan perspektif bukanlah pertanda
kita jatuh cinta, melainkan sinyal kebodohan.
Cinta
membutuhkan proses !!!
Bowman juga menolak anggapan cinta bisa
berasal dari pandangan pertama. Cinta itu tumbuh dan berkembang dan merupakan
emosi yang kompleks, katanya. Untuk tumbuh dan berkembang, cinta membutuhkan
waktu. Jadi, memang tidak mungkin kita mencintai seseorang yang tidak ketahuan
asal-usulnya dengan begitu saja. Cinta tidak pernah menyerang tiba-tiba, tidak
juga jatuh dari langit. Cinta datang hanya ketika dua individu telah berhasil
melakukan orientasi ulang terhadap hidup dan memutuskan untuk memilih orang
lain sebagai titik fokus baru. Yang mungkin terjadi dalam fenomena cinta pada
pandangan pertama adalah pasangan terserang perasaan saling tertarik yang
sangat kuat-bahkan sampai tergila-gila. Kemudian perasaan kompulsif itu
berkembang jadi cinta tanpa menempuh masa jeda.
Dalam kasus cinta pada pandangan pertama, banyak orang tidak benar-benar
mencintai pasangannya, melainkan jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri.
Sebaliknya dengan orang yang
benar-benar mencinta. Mereka mencintai pasangan sebagai persolinatas yang utuh.
Cinta
tidak menguasai dan mengalah, tapi berbagi.
Bukan cinta namanya bila kita
berkehendak mengontrol pasangan. Juga bukan cinta bila kita bersedia mengalah
demi kepuasan kekasih. Orang yang mencinta tidak menganggap kekasih sebagai
atasan atau bawahan, tapi sebagai pasangan untuk berbagi, juga untuk
mengidentifikasi diri. Bila kita berkeinginan menguasai kekasih (membatasi
pergaulannya, melarangnya beraktivitas positif, mengatur seleranya berbusana)
atau melulu mengalah (tidak protes bila kekasih berbuat buruk, tidak keberatan
dinomorsekiankan), berarti kita belum siap memberi dan menerima cinta.
Cinta
itu konstruktif.
Individu yang mencinta berbuat
sebaik-baiknya demi kepentingan sendiri sekaligus demi (kebanggaan) pasangan.
Dia berani berambisi, bermimpi konstruktif, dan merencanakan masa depan.
Sebaliknya dengan yang jatuh cinta impulsif. Bukannya berpikir dan bertindak
konstruktif, dia kehilangan ambisi, nafsu makan, dan minat terhadap
masalahsehari-hari. Yang dipikirkan hanya kesengsaraan pribadi. Impiannya pun
tak mungkin tercapai. Bahkan impian itu bisa menjadi subsitusi kenyataan.
Cinta
tidak melenyapkan semua masalah.
Penganut faham romantik percaya cinta
bisa mengatasi masalah. Seakan-akan cinta itu obat bagi segala penyakit
(panacea). Kemiskinan dan banyak problem lain diyakini bisa diatasi dengan
berbekal cinta belaka. Faktanya, cinta tidaklah seajaib itu. Cinta hanya bisa
membuat sepasang kekasih berani menghadapi masalah. Permasalahan seberat apapun
mungkin didekati dengan jernih agar bisa dicarikan jalan keluar. Orang yang
tengah mabuk kepayang-berarti tidak benar-benar mencinta-cenderung membutakan
mata saat tercegat masalah. Alih-alih bertindak dengan akal sehat, dia
mengenyampingkan problem.
Cinta
cenderung konstan.
Ya, cinta itu bergerak konstan. Maka
kita patut curiga bila grafik perasaan kita pada kekasih turun naik sangat
tajam. Kalau saat jauh kita merasa kekasih lebih hebat dibanding saat bersama,
itu pertanda kita mengidealisasikannya, bukan melihatnya secara realistis.
Lantas saat kembali bersama, kita memandang kekasih dengan lebih kritis dan
hilanglah segala bayangan hebat itu. Sebaliknya berhati-hatilah bila kita
merasa kekasih hebat saat kita berdekatan dengannya dan tidak lagi merasakan hal
yang sama saat dia jauh. Hal sedemikian menandakan kita terkecoh oleh daya
tarik fisik. Cinta terhitung sehat bila saat dekat dan jauh dari pasangan, kita
menyukainya dalam kadar sebanding.
Cinta
tidak bertumpu pada daya tarik fisik.
Dalam hubungan cinta, daya tarik fisik
penting. Tapi bahaya bila kita menyukai kekasih hanya sebatas fisik dan
membencinya untuk banyak factor lainnya. Saat jatuh cinta, kita menikmati dan
memberi makna penting bagi setiap kontak fisik. Kontak fisik, ketahuilah, hanya
terasa menyenangkan bila kita dan pasangan saling menyukai personalitas
masing-masing. Maka bukan cinta namanya, melainkan nafsu, bila kita menganggap
kontak fisik hanya memberi sensasi menyenangkan tanpa makna apa-apa. Dalam
cinta, afeksi terwujud belakangan saat hubungan kian dalam. Sedang nafsu
menuntut pemuasan fisik sedari permulaan.
Cinta
tidak buta, tapi menerima.
Cinta itu buta? Tidak sama sekali.
Orang yang mencinta melihat dan menyadari sisi buruk kekasih. Karena besarnya
cinta, dia berusaha menerima dan mentolerir. Tentu ada keinginan agar sisi
buruk itu membaik. Namun keinginan itu haruslah didasari perhatian dan maksud
baik. Tidak boleh ada kritik kasar, penolakan, kegeraman, atau rasa jijik.
Nafsulah yang buta. Meski pasangan sangat buruk, orang yang menjalin hubungan
dengan penuh nafsu menerima tanpa keinginan memperbaiki. Juga meninggalkan
pasangan saat keinginannya terpuaskan, hanya karena pasangan punya secuil
keburukan yang sangat mungkin diperbaiki.
Cinta
memperhatikan kelanjutan hubungan.
Orang yang benar-benar mencinta
memperhatikan perkembangan hubungan dengan kekasih. Dia menghindari segala hal
yang mungkin merusak hubungan. Sebisa mungkin dia melakukan tindakan yang bisa
memperkuat, mempertahankan, dan memajukan hubungan. Orang yang sedang tergila-gila
mungkin saja berusaha keras menyenangkan kekasih. Namun usaha itu semata-mata
dilakukan agar kekasih menerimanya, sehingga tercapailah kepuasan yang diincar.
Orang yang mencinta menyenangkan pasangan untuk memperkuat hubungan.
Cinta
berani melakukan hal menyakitkan.
Selain berusaha menyenangkan kekasih,
orang yang sungguh-sungguh mencinta memiliki perhatian, keprihatinan,
pengertian, dan keberanian untuk melakukan hal yang tidak disukai kekasih demi
kebaikan. Seperti seorang ibu yang berkata tidak saat anaknya minta es krim,
padahal sedang flu. Begitulah kita semua seharusnya bersikap pada pasangan.
gunakan hati, pikiran dan rasa. . . .gunakanlah . . . .gunakanlah Top of Form