Senin, 07 Oktober 2013

"Selamat Tinggal, Pagi"



Detik demi detik kini menjadi kian tak pasti. Arahkan pada satu jalan yg tak tentu arah. Menggali kembali pekat di dalam hunus malam. Bersiap sadarkan bahwa cahaya tak akan kembali, atau sama sekali tidak akan kembali.

Helaan nafas panjang kian habisi hari yg terlewati tanpa adanya kamu, pagi. Sadarkah? Bahwa rasa yg kubawa bukan hanya sekedar semu semata, bukan sekedar lalu lalang lalu berpulang. Namun waktu tetap saja mengambil apa yg dia ingin ambil. “Bukankah kehilangan memang selalu jadi tujuan akhir.”

Hari demi hari tak kunjung membaik, tidak tanpa kamu. Aku putuskan untuk menyerah, untuk tidak sama sekali mengambil langkah lagi. Mungkin bukan saatnya untuk bersama, mungkin belum waktunya, atau mungkin bukan takdirnya.

Pagi, salahkah bila rasa ini berwujud cinta, yg takut akan kata kehilangan, dan inginkan kebersamaan. Tak inginkah akan bahagia yg akan menyelimuti harimu kelak?, pagi. Aku berjanji tak akan kecewakan. Namun maaf bila kini aku menyerah, pekatku telah kembali, sunyiku telah memanggil. Terlalu lama kamu beralih.

”Pagi, ijinkan rasa ini tetap utuh dan tersimpan. Maka kuijinkan kamu pergi dan beralih. Impas bukan?”

Pagi, dulu aku pernah kehilangan dan berharap itu kembali. Dan itu kembali, ada sisiku lagi. Lalu aku pergi, mencoba cari cahaya lain, dan aku  temukan kamu pagi. Haruskah aku kehilangan lagi? bila memang maka harus bisa bukan, seperti yg biasa kamu bisikkan di telingaku saat aku melemah, saat dunia kembali mencoba runtuhkan.

”Kamu bisa, kamu pasti bisa.”

Bolehkah aku rindukan setiap detik kenangan manis yg kamu cipta dalam singkat hadirmu? Bolehkah aku putar ulang saat pertama kita bertemu dalam malam itu? bolehkah aku ingat saat pertama kali kamu memeluk dan mengucap cinta? Bolehkah aku simpan kata-kata yg kau ucap bahwa kamu akan menjaga.

Pagi, ketahuilah. Mungkin bagimu ini tidaklah berharga. Alasanku memilih kamu. Bahwa kamu mampu membawaku kembali hidup, pagi. Kembali dalam tawa, kembali dalam ketenangan. Dan aku mencintaimu.

Mimpiku terhenti di kamu. IJinkan aku menunggumu kembali menyinari pekatku, walau sadar bahwa waktu tak akan pernah sesingkat itu.

Detik demi detik kini menjadi kian tak pasti. Arahkan pada satu jalan yg tak tentu arah. Menggali kembali pekat di dalam hunus malam. Bersiap sadarkan bahwa cahaya tak akan kembali, atau sama sekali tidak akan kembali.

Helaan nafas panjang kian habisi hari yg terlewati tanpa adanya kamu, pagi. Sadarkah? Bahwa rasa yg kubawa bukan hanya sekedar semu semata, bukan sekedar lalu lalang lalu berpulang. Namun waktu tetap saja mengambil apa yg dia ingin ambil. “Bukankah kehilangan memang selalu jadi tujuan akhir.”

"Selamat tinggal, pagi. Temui aku saat rasa itu telah berpulang dalam rumah tuannya. Dalam hatimu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar