Kamis, 11 April 2013

10 Tidak Boleh Buat Jurnalis

Menjadi jurnalis buat sebagian orang adalah panggilan jiwa. Talenta mereportase dan menulis sebagai basis, menjadikan seseorang terpanggil untuk menjadi wartawan. Tapi, ada pula yang memilih pekerjaan ini lantaran belum diterima di profesi lain.
Meski demikian, ketika seseorang sudah menyandang predikat wartawan, ia dipaku dengan sejumlah aturan. Kalangan jurnalis akrab menyebutnya dengan Kode Etik Jurnalistik.
Selain itu, ada banyak hal yang berkenaan dengan profesi wartawan yang tidak terangkum dalam Kode Etik. Tiap perusahaan kemudian memberikan panduan. Sejumlah organisasi profesi pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) misalnya, juga memberikan panduan.
Pengalaman beberapa jurnalis senior juga menjadi bahan pegangan. Dari semua itu, poin-poin ini saya jabarkan. Sejujurnya ini banyak diambil dari pengalaman di lapangan, mengikuti rapat keredaksian, dan saling bertukar pendapat dengan sesama wartawan. Rata-rata semua sepakat dengan kesepuluh poin ini. Ada memang beberapa lainnya, tapi saya fokuskan saja menjadi sepuluh. Ini niatnya sekadar memudahkan saja. Sumpah, Gan! Mau dibikin lebih panjang pun tak masalah. Ibarat merangkum senarai teks panjang, demikian pula di noktah ini. Oke, kita mulai.
Pertama, tidak boleh menolak tugas. Para bos media acap mempersamakan jurnalis dengan polisi atau tentara. Begitu ada perintah untuk turun ke lapangan, saat itu juga berangkat. Entah dalam kondisi apa kita saat itu, wajib berangkat. Ada tidaknya kendaraan menuju lokasi kejadian, tidak boleh menjadi alasan. Begitu ada tugas yang harus dikerjakan, ya dilakoni. Menolak tugas, itu sama saja mencari “mati”. Di militer disertir namanya. Dalam konteks jurnalis juga begitu. Bahkan, beberapa aturan perusahaan menuliskan “jurnalis yang menolak tugas sama artinya mengundurkan diri”. Bisa mampus kan? Kalau tentara dan polisi punya jadwal piket, demikian juga wartawan. Ia mesti bersiaga jika ada kejadian yang mesti direportase.
Kalau pemimpin redaksi memerintahkan mesti berangkat meliput, jawab dengan satu kata saja. Diksinya pilih yang enak diucap di mulut. Bisa “baik”, “oke”, “siap”, meluncur”, “OTW”. Intinya, jangan pernah menolak tugas. Kecuali reporter yang bersangkutan masih cuti menikah. Kalau si pemimpin redaksi memerintah, ya keterlaluan namanya. Namun, kalau kejadiannya adalah tetangga wartawan yang sedang cuti dan tidak ada jurnalis lain, mesti siap turun. Ibarat ada peluang menangkap koruptor, penyidik KPK yang sedang cuti pun mesti bertindak. Maka itu, andai kepingin jadi jurnalis, bersiap-siagalah.
Kedua, tidak boleh tidak dapat.
Ada banyak reporter yang gagap saat menerima telepon dari pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, atau redakturnya. Kalau sudah melihat nama bos di layar ponsel, hakulyakin, yang ada di pikiran mereka “aduh, disuruh apa lagi gua ini”, “salah apa lagi sampai ditelepon”, atau “apa lagi kerjaan ini”. Meski begitu, tetap saja diangkat dan menerima titah berikutnya. Dan dalam konteks ini, berita atau komentar narasumber yang diminta, wajib didapat. Tidak boleh tidak dapat. Harus dapat. Yang berabe kalau narasumber tidak bisa ditemui, SMS pun tidak dibalas, dan narasumber alternatif tidak bisa dicari. Kalau mentok seperti itu, berkonsultasilah dengan redaktur karena dia adalah orang yang secara garis komando paling dekat dengan reporter. Barangkali dia bisa memberikan masukan dan alternatif narasumber.
Sewaktu konflik di Mesir antara demonstran dan rezim Hosni Mubarak, seorang reporter Lampung Post, Rizki Elinda Sary namanya, diminta mencari mahasiswa Indonesia di negeri Sphinx itu untuk diwawancara. Dia berusaha keras agar dapat akses ke sana. Ujung-ujungnya dapat dengan melakukan wawancara via Facebook dengan mahasiswa asal Lampung yang masih terjebak di Mesir. Jurnalis memang dituntut kreatif. Tidak bisa wawancara langsung, interviu tertulis tak masalah. Itu juga tidak bisa, via SMS, BlackBerry Messenger, atau Facebook pun boleh. Otak mesti diputar agar tugas dari pimpinan bisa dilaksanakan.
Ketiga, tidak boleh mematikan ponsel.
Karena mesti bersiaga 24 jam, ponsel adalah alat komunikasi mahautama buat jurnalis. Sebab itu, mematikan ponsel dalam masa bekerja adalah kekeliruan besar. Kita bisa dimaki redaktur dan pemimpin redaksi jika ponsel mati terus saat dihubungi. Meski sekarang setiap reporter mengirim berita via internet, bertanya kepadanya soal beberapa hal adalah penting. Barangkali redaktur mau memverifikasi nama dan kejadian. Ia menelepon tak semata memerintahkan reporter mencari berita lain. Bisa jadi sekadar menyapa atau si redaktur hendak curhat. Jadi, buang jauh-jauh sikap skeptis kepada redaktur atau pemred. Skeptis hanya boleh kepada narasumber. Jangan pula menyesal jika ternyata telepon yang masuk ke ponsel kita yang mati mengabarkan ada bonus dari kantor. Kalau itu yang terjadi, siap-siap saja gigit jari.
Sedapat mungkin ponsel dalam kondisi siaga. Kalaupun hendak mengecas, lakukan malam hari sepulang kerja dan segera hidupkan di pagi hari. Namanya juga tugas, kadang seharian tak ada yang menelepon, tapi ada kalanya berdering terus setiap jam.
Keempat, tidak boleh libur.
Ini ungkapan hiperbola tentu saja. Sebab, setiap reporter umumnya punya waktu libur satu hari dalam sepekan. Di media lain ada yang liburnya sehari dalam dua minggu. Tapi, kembali ke kesiapsiagaan tadi, sejatinya jurnalis tak ada libur. Ia mesti dalam kondisi siap setiap hari. Setiap ada panggilan tugas, ia mesti siap. Sebab, ada kalanya, kemampuan seorang jurnalis diperlukan saat ia sedang rehat. Misalnya, kantor kedatangan duta besar Amerika Serikat. Ia belum piawai berbahasa Indonesia. Rumah kita dekat dengan kantor. Sedangkan reporter piket belum ada. Karena kita yang paling piawai berbahasa Inggris, kantor meminta kita datang. Ya dalam situasi model begitu, kita mesti siap ambil tanggung jawab. Ketimbang si dubes tidak ada yang menerima dan mendapat kesan kurang bagus, kita yang menerima dan mewawancarai.
Kelima, tidak boleh menggerutu.
Kadang tulisan kita tidak ditayangkan oleh penanggung jawab halaman atau redaktur. Dan kita pun tidak bertanya langsung kepadanya. Kita cuma menggerutu. Kadang tulisan yang tidak turun itu karena berkaitan dengan kebijakan redaksi.
Misalnya, kita menulis soal penyitaan aset negara oleh kejaksaan setempat. Celakanya, penyitaan aset negara itu berujung ricuh. Mereka yang disita asetnya tidak menerima kemudian berkeras tidak menerima. Kita pun mereportase apa yang sedang terjadi. Kita berharap tulisan itu menjadi berita utama. Paling tidak menjadi berita utama di halaman dalam. Namun, saat besok kita lihat, berita kita tidak masuk. Dan kelanjutan dari berita itu juga tak pernah dimuat. Dalam kondisi semacam inilah reporter diminta legawa. Itu pasti kebijakan redaksi. Mungkin berkaitan dengan sikap redaksi soal itu itu. Kalau kita penasaran, kita tanya saja dengan redaktur atau pemred. Mereka akan menjelaskan. Meski demikian, tanpa bertanya saja kita sudah bisa menduga bahwa berita itu tidak tayang karena kebijakan redaksi. Kalaupun kita bertanya, sudah bisa diduga jawaban bos media kita ialah “ini kebijakan redaksi”. Tugas kita selaku reporter memang sebatas melaporkan. Soal tulisan itu turun atau tidak, jadi berita utama atau biasa, itu wewenang redaktur dan unsur pimpinan. Tapi, alangkah bijak jika manajemen memberi tahu reporter bahwa berita semacam itu tidak bisa turun. Manajemen redaksi punya trek dan tren tersendiri terhadap berita yang mau diturunkan. Maka itu, janganlah menggerutu. Lebih baik tanyakan. Kalau sudah jadi kebijakan, lebih baik menurut. Namun, kalau dalam kacamata kita itu layak diberitakan dan menganggap media kita salah, serta kita sangat tidak nyaman lagi, pilihan cuma satu: keluar. Toh itu pilihan. Itu bentuk idealisme juga. Cuma ada baiknya kita mengukur kembali niat itu. Apakah dengan keluar kita bisa menolong lebih banyak korban tertindas dengan berita yang kita bikin. Atau malah kita tak bisa berkontribusi lagi buat masyarakat. Akan tetapi, pilihan sadar adalah yang terbaik: bertahan atau keluar.
Keenam, tidak boleh dihalangi.
Kalau Anda kedatangan jurnalis dan dia datang baik-baik, terima saja dengan terbuka. Jurnalis yang seperti itu hampir bisa dipastikan datang dari media arus utama dan niatnya cuma cari informasi. Meski informasi yang mau ia gali soal korupsi, penyelewengan anggaran atau tindak pidana, umumnya ia akan bekerja dengan baik. Misalnya seorang wartawan datang mau mengonfirmasi soal dugaan pungli di sekolah. Ia pasti menemui narasumber utama: kepala sekolah. Meskipun ada resistensi dari sekolah, jurnalis yang baik tetap sopan selama mereportase. Ia tidak bakalan merasa gagah karena dirinya wartawan. Kalaupun ia tak mendapat narasumber resmi, obrolan beberapa guru dan siswa yang tak mau ditulis namanya, sudah cukup menjadi dasar untuk menulis. Apalagi kalau ada dokumen yang sudah ia pegang.
Kalau pihak yang terduga menyeleweng memang tak bersalah, ia pun tidak takut menghadapi wartawan. Meski isi wawancara adalah bantahan terhadap kabar itu, wartawan tetap mencatatanya sebagai bagian dari pekerjaan reportasenya. Ia tinggal menyinkronkan antara data yang ia pegang dengan konfirmasi ke sekolah yang bersangkutan.
Jurnalis tidak boleh diintimidasi selama ia melakukan reportase. Ia dilindungi Undang-Undang tentang Pers. Kalaupun narasumber merasa jurnalis yang mendatanginya malah memeras, segera laporkan ke polisi. Sudah banyak wartawan gadungan yang masuk bui karena polahnya yang memuakkan. Buat yang model begini, jangan diberi ampun. Penjara adalah tempat yang pantas buat para pemeras yang berlindung dengan selembar kartu pers.
Ketujuh, tidak boleh digaji kecil.
Wartawan juga punya hak untuk hidup layak. Punya rumah, dapur tetap mengepul, ada asuransi jiwa, kesehatan, punya tunjangan, dan bisa menyekolahkan anak sampai strata paling tinggi. Dengan begitu, jurnalis butuh gaji yang layak. Besar-kecil jelas ratif karena setiap orang punya pandangan berbeda soal itu. Tapi, standarnya tetap saja ada. Kalau gaji jurnalis cuma cukup buat makan, itu tidak ideal. Maka itu, manajemen wajib memberikan gaji yang layak buat wartawan. Di Bandar Lampung, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung pernah menyurvei berapa gaji yang layak buat seorang reporter lajang/gadis. Ketemu angka Rp 2,3 juta. Angka ini jelas bertambah jika wartawan sudah memiliki istri dan anak. Filosofi pendiri Kompas, PK Ojong soal gaji, saya sepakat sekali. Kata Ojong, gaji itu jangan cuma melihat karyawan seorang. Tapi, penghasilan itu mesti cukup untuk istri dan anak. Tidak salah kalau jurnalis dalam grup Kompas termasuk yang paling baik penggajiannya.
Media lain seharusnya juga demikian. Apalagi yang sudah berdiri lama. Harus ada penyesuaian setiap tahun karena harga barang pasti terkerek setiap bulan. Kalau gaji tak naik-naik, mana cukup untuk menghidupi keluarga jurnalis.
Kalau gaji wartawan rendah, sedikit banyak berpengaruh terhadap kinerja.
Bos media jangan cuma mau berita eksklusif saja, tapi tidak memikirkan kesejahteraan wartawan. Mau berita bagus, tapi gaji wartawan digencet. Mau artikel yang menarik tetapi tak dipikirkan keluarga si jurnalis. Berimbang saja.
Kalau pemimpin redaksi ketat terhadap wartwan, ia wajib memperjuangkan gaji penggawanya ke pemilik modal juga dengan gagah. Kalau ia sanggup berceloteh tentang jurnalisme, begitu juga seharusnya saat ia berhadapan dengan bos medianya. Sangat naif kalau wartawan sakit saja pengobatan dari kocek sendiri. Besok-besok, jangan harap jurnalis mau bekerja serius kalau itu kejadiannya. Jangan harap wartawan mau mengaktifkan ponselnya kalau perhatian kantor kecil.
Wartawan wajib digaji layak. Ia juga buruh. Tapi ia bekerja dengan profesionalitas dan intelektualitas. Maka itu, ia berhak dihargai dengan gaji yang manusiawi.
Kedelapan, tidak boleh menerima suap.
Jurnalis wajib mengedepankan independensi dari semua narasumber. Dan media semestinya bisa serupa itu dengan pemasang iklan. Artinya, skeptisme media dan jurnalis sebaiknya sama dan sebangun.
Dalam konteks itu, jurnalis dilarang menerima pemberian apa pun dari narasumber. Hampir semua media sepakat dengan ini. Sebab, di boks redaksi acap ditemukan kalimat “wartawan kami dilarang menerima apa pun, dari siapa pun, dan atas kepentingan apa pun.” Ini menyiratkan media juga melarang keras jurnalisnya menerima duit atau yang dalam bahasa keseharian disebut “amplop”. Sayangnya tidak setiap media tegas dengan wartawan yang menerima duit amplop. Bahkan, media yang tak bisa menggaji wartawannya, malah permisif dengan itu.
Kadang ada jurnalis yang bilang “kalau tidak menyangkut pemberitaan dan sekadar menjaga hubungan, amplop tidak apa diterima”. Ada juga yang bilang, “Kalau tidak minta dan dikasih, itu kan rezeki, terima saja.”
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tegas melarang anggotanya menerima amplop. Yang ketahuan dan tercium gelagat itu, pasti dipecat. Di Bandar Lampung, sudah ada kejadian semacam itu. Sayangnya organisasi profesi pers lain masih permisif. Ditanya soal sikap organisasi soal amplop, malah mengelak dengan mengatakan itu urusan pribadi wartawan dan medianya. Aneh, bikin organisasi pers kok tidak punya aturan tegas soal itu. Pantas dunia jurnalisme terpuruk karena mayoritas masyarakat berpikir wartawan itu otaknya duit melulu. Sedih!
Kenapa sih kok sampai menerima amplop itu dilarang? Jurnalis tak pernah tahu kapan seseorang itu menjadi narasumber. Maka, harus dijaga independensi. Salah satu cara, menolak semua pemberian. Manfaatnya, menjaga independensi dan tak punya utang moral. Kalau sudah permisif, mana bisa skeptis. Kalau sudah keseringan menerima duit dari gubernur, mana mungkin kritis. Seorang teman lama pernah mengatakan, “tangan di bawah takkan pernah sanggup melawan tangan di atas.” Sudah sering menerima, pasti sungkan menulis kritis. Tegasnya, kalau mau jadi jurnalis yang baik, tolak amplop. Semaksimal yang kita bisa. Mantan Ketua AJI Bandar Lampung yang sekarang jadi Redaktur Pelaksana Tribun Lampung, Juwendra Asdiansyah, mengatakan, “hidup lebih bermakna dengan idealisme di dada”. Subhanallah.
Kalau merasa tak kuat godaan amplop, pilihannya seperti yang pernah disinggung di pon sebelumnya: mundur saja. Berhenti jadi wartawan. Ketimbang melacurkan diri dan menambah ruwet persoalan jurnalisme di masyarakat, lebih baik cari kerja lain. Kasihan kepada jurnalis yang independen dan idealis, disangka sama dengan jurnalis permisif amplop.
Menolak amplop dalam banyak kasus, mendatangkan banyak keuntungan buat jurnalis. Tidak percaya? Ini buktinya. Seorang kepala depot Pertamina yang baru dilantik, tiba-tiba didatangi wartawan. Ada beberapa orang. Wajahnya tidak bersahabat. Lebih menyerupai pemeras ketimbang wartawan. Kepala depot lalu dimintai uang. Rutin lagi. Sebulan sekali. Kata para jurnalis gadungan itu, ini tradisi, di mana korporasi harus menyiapkan uang untuk keperluan publikasi.
Sang kepala depot stres. Ia sedikit depresi. Otaknya menstigma bahwa semua wartawan serupa itu. Ia pun menurut. Setiap konferensi pers, ia siapkan duit. Wartawan media utama dan abal-abal dikasih duit. Semua menerima. Tanpa terkecuali. Sampai suatu waktu ada dua wartawan muda anggota AJI meliput di sana. Saat membagi amplop, dua wartawan muda itu “kabur”. Sang kepala depot heran. Kok ada menolak duit. Ia kejar dua jurnalis muda itu. Bayangkan, seorang kepala depot Pertamina sampai mengejar wartawan supaya menerima uang amplop. Dua jurnalis menolak keras. Sekian alasan dilontarkan sampai ujung argumentasinya begini, “Kami anggota AJI, kami tidak bisa menerima. Kami bisa dipecat kantor kalau menerima ini.”
Sang kepala depot tertegun. Ia heran sekaligus senang. Ia masygul sekaligus bangga. Ia lalu bilang, “Kalau semua wartawan seperti adik-adik, aman dunia ini.” Sang kepala depot kemudian berubah perspektifnya soal wartawan. Sekarang, kalau ada informasi ekskusif soal bahan bakar, soal dugaan penggelapan bahan bakar, dua wartawan itu yang pertama diajak. Sebab, sang kepala depot tahu, yang dibutuhkan jurnalis adalah informasi, bukan duit. Narasumber sangat menghargai jurnalis yang profesional. Bahasa ekstremnya, jurnalis yang permisif dengan amplop, harga dirinya sudah bisa ditakar. Paling setara seratus atau dua ratus ribu rupiah! Miris!
Kesembilan, tidak berpolitik praktis.
Menjadi jurnalis bukan berarti hak politiknya tercabut. Ia boleh menyalurkan hak pilihnya pada calon legislator partai tertentu. Yang tidak diperbolehkan ialah merangkap menjadi pengurus partai. Kalau sudah mau berpolitik praktis, jelas urusannya. Ia mesti menanggalkan baju jurnalisnya. Mengapa? Sebab, kalau sampai ia masih menjadi jurnalis akan ada konflik kepentingan. Sebagai aktivis partai, ia pasti memberitakan keharuman partainya. Padahal partai berorientasi kekuasaan. Dan saat berkuasa, mengutip Lord Acton, cenderung korup atau menyeleweng. Apakah mungkin ia masih mau menulis kebobrokan partainya sendiri? Maka, di beberapa media, aturannya tegas. Pilih aktif di partai atau terus sebagai jurnalis. Meski demikian, yang sembunyi-sembunyi pun ada. Kalau ditanya aktif tidak di partai, ia cuma menjawab “cuma fans saja, bantu-bantu sedikit”.
Soal jurnalis alih profesi jadi politikus, tidak ada masalah. Di DPR ada banyak legislator yang bermula dari jurnalis. Ada Ramadhan Pohan dari Demokrat yang bekas Pemred Jurnal Nasional (Jurnas), ada Effendi Choirie dari PKB, Teguh Juwarno asal PAN adalah bekas jurnalis televisi, Meuthia Hafid dari Golkar adalah jurnalis andalan Metro TV. Di skop daerah juga bertebaran anggota dewan yang mengawali kiprah di masyarakat dari jurnalis. Bahkan, beberapa kepala daerah juga awalnya wartawan. Di Lampung, bekas Wakil Bupati Lampung Timur Noverisman Subing adalah koresponden salah satu harian di Jakarta.
Kesepuluh, tidak boleh sombong.
Poin terakhir dari sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan “nabi jurnalisme” Bill Kovach dan Tom Rosensteil ialah rendah hati. Wartawan harus rendah hati. Ia harus mengakui kesalahan jika bersalah. Ia harus sopan dalam mereportase. Ia tidak boleh sombong. Sikapnya yang sopan dalam mewawancarai, harus sama kepada setiap narasumber. Kalau ia ramah saat mewawancarai gubernur, ia juga mesti begitu saat berhadapan dengan maling atau pembunuh. Kalau ia bersikap manis saat mewawancarai kepala dinas, sama dan sebangun saat menginterviu pelacur. Sebab, buat jurnalis, semua narasumber punya kedudukan yang sama. Mereka sumber informasi. Tak lebih, tak kurang.
Wartawan yang sudah puluhan tahun bekerja tetap harus memperbaiki cara bekerja, cara mewawancarai, dan cara menulis berita. Tak jadi jaminan, sudah puluhan tahun jadi wartawan, pasti hebat. Belum tentu, Bro! Jangan sombong!
Kenapa ini penting? Sebab, rendah hati akan sangat berharga saat jurnalis bekerja.
Wartawan itu manusia biasa yang bekerja dengan banyak keterbatasan. Boleh jadi ia salah menulis nama narasumber, keliru menulis kronologi kejadian, salah menginterpretasikan ujaran narasumber, dan sebagainya. Pada saat itulah ia dituntut rendah hati, meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat. Dan itu bukan sesuatu yang hina. Bahkan, keluasan pandang jurnalis yang seperti itu yang disukai. Kita senang dengan teman yang acap meminta maaf saat ia bersalah. Kita pasti jengkel dengan karib yang ngotot benar padahal jelas-jelas keliru.
Meralat berita, membetulkan artikel yang khilaf, meminta maaf atas kekeliruan interpretasi adalah beberapa contoh rendah hati dari seorang jurnalis. Namun, bukan berarti ia permisif dengan kesalahan narasumber dan mengikis skeptisismenya terhadap sumber berita.
Saat Bondan Winarno menyusun buku soal kematian geolog Bre-X, de Guzman, ia juga bersikap rendah hati. Bahkan, meski karya Pak Bondan “Mak Nyus” itu terkategori investigasi soal kecurangan Bre-X dalam kasus emas Busang, Pak Bondan tetap rendah hati dalam mereportase. Ia bahkan mengaku secara terang-terangan bahwa ia wartawan dan akan meliput soal kematian de Guzman yang menurut dia janggal. Linda Christanty, jurnalis Aceh Feature, yang menceritakan itu kepada saya dalam sebuah kesempatan.
Tegasnya, jadi jurnalis wajib rendah hati. Rendah hati takkan mengakibatkan martabat kita hilang. Justru dengan rendah hati, marwah kita sebagai wartawan tetap terjaga.

daftar pustaka dari http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/11/28/10-tidak-boleh-buat-jurnalis-416595.html


Bandar Lampung, 10 April 2013

Whendie
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar